Jakarta – Kampanye transisi energi global untuk mengurangi emisi karbon diharapkan dapat meningkatkan permintaan mineral, termasuk nikel, sebagai bahan baku untuk mengembangkan kendaraan listrik (EV) dan rantai pasokan penyimpanan energi. Namun, pengembang kendaraan listrik global memiliki perhatian besar terhadap rantai pasokan hulu, khususnya pemrosesan nikel tingkat baterai.
PT Hydrotech Metal Indonesia (HMI), anak perusahaan PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (TMM) dengan kode saham PURE, menawarkan solusi berupa Teknologi STAL, atau Teknologi Step Temperature Acid Leach, sebuah teknologi berbasis Hidrometalurgi yang inovatif, sangat efisien, dan ramah lingkungan untuk memulihkan logam dan mineral yang ditemukan dalam bijih laterit.
Romy Ramadhani, Vice President Hydrotech Metal Indonesia, mengatakan Indonesia memiliki cadangan bijih laterit yang melimpah, terutama bijih nikel kadar rendah yang dapat diolah menjadi nikel kelas baterai.
“Namun, bijih nikel kelas 1 dengan kandungan nikel di bawah 1,7 persen saat ini dianggap sebagai beban dan banyak pelaku industri yang belum dapat memanfaatkan bijih nikel kadar rendah tersebut,” katanya kepada CoalAsia Magz, baru-baru ini.
Saat ini, sebagian besar fasilitas pengolahan nikel yang beroperasi di Indonesia menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang hanya menggunakan bijih nikel kadar tinggi untuk menghasilkan feronikel, nikel matte dan Nickel Pig Iron (NPI) sebagai bahan baku industri stainless steel.
Romy menyatakan 80 persen bijih laterit, limonit, yang diekstraksi dari tanah terbuang sia-sia karena hanya 20 persen bijih laterit, saprolit, yang dimanfaatkan untuk smelter RKEF yang menggunakan teknologi pyrometallurgy. Pada tahun 2020, Indonesia memproduksi 710.000 ton Ni dan diperkirakan akan meningkat hingga 1,3 juta ton pada tahun 2023.
Widodo Sucipto, Direktur Utama HMI, menyatakan Indonesia memiliki sekitar 3,6 miliar ton cadangan bijih nikel kadar rendah sedangkan cadangan bijih nikel kadar tinggi hanya 930 juta ton. “Cadangan limonit yang melimpah di Indonesia menjadi keunggulan kami sebagai pengembang STAL,” ujarnya.
Dengan mengusung teknologi STAL, HMI menawarkan solusi baik untuk konservasi sumber daya bijih laterit dengan memanfaatkan bijih nikel kadar rendah dan memproduksi nikel kelas baterai untuk kendaraan listrik dan juga ekosistem penyimpanan energi.
“Sekarang adalah momentum yang tepat untuk memanfaatkan bijih nikel kadar rendah kelas 1,” kata Romy. HMI mencermati kondisi defisit pasokan nikel tingkat baterai dapat terjadi mulai tahun 2024 dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 sebesar 400.000 ton.
Romy berupaya menghindari kondisi defisit karena pengguna nikel kelas baterai, seperti produsen kendaraan listrik, kemungkinan besar akan mempertimbangkan untuk mencari alternatif bahan baterai kendaraan listrik, seperti lithium ferro phosphate.
Indonesia diharapkan memiliki tiga hingga lima smelter HPAL untuk memproduksi nikel tingkat baterai tetapi total output dari smelter HPAL ini diperkirakan kurang dari 200.000 ton atau jauh di bawah total permintaan global.
STAL, sebuah inovasi teknologi dalam negeri, menurut Romy, menawarkan solusi untuk mengisi kesenjangan dengan mengembangkan kapasitas sistem modular STAL yang paling sesuai untuk konsesi pertambangan Indonesia dan memungkinkan operasi dalam skala kecil dan lebih cepat meningkat.
HMI berencana membangun 10 line smelter STAL di Kawasan Ekonomi Khusus Palu, Provinsi Sulawesi Tengah dan bertujuan untuk mengembangkan smelter STAL modular di daerah kaya nikel seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
“Kami ingin mendorong penambang nikel untuk mengembangkan smelter STAL di mulut tambang mereka,” kata Romy. Sementara teknologi HPAL memiliki kapasitas proses hingga 35.000 ton per tahun, teknologi STAL hanya membutuhkan kapasitas proses 1.800 ton per tahun.
Mengingat sebagian besar penambang nikel di wilayah tersebut adalah penambang skala kecil hingga menengah, Widodo mengusulkan para pemegang IUP yang berdekatan di wilayah yang sama untuk berkolaborasi membangun smelter STAL. “Kita bisa membangun satu smelter STAL untuk tiga atau empat pemegang IUP,” kata Widodo.
Dibangun sebagai sistem modular, teknologi STAL menawarkan intensitas modal yang lebih rendah dan biaya pengoperasian yang lebih rendah daripada HPAL. Hal ini menjadikan teknologi STAL sangat sesuai dengan karakteristik pertambangan nikel di Indonesia dan dapat diakses oleh berbagai investor.
Teknologi STAL juga memberikan tingkat pemulihan nikel dan produk sampingan lainnya yang lebih tinggi karena dapat menyerap berbagai macam bijih laterit mulai dari limonit dan saprolit, sebagaimana diverifikasi oleh BPPT dan ESDM. Ini berarti teknologi STAL termasuk di antara persentil ke-25 dari teknologi ekstraksi nikel dengan tingkat biaya terendah di dunia.
Kredensial ESG
Dalam mengembangkan kendaraan listrik dan ekosistem penyimpanan energi, para pemain industri global semakin mempertimbangkan kredensial ESG (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola) di semua rantai pasokan. Pembuangan limbah dan emisi karbon antara lain kredensial lingkungan yang paling penting yang perlu ditangani oleh pengembang smelter.
Saat ini, terdapat tiga metode pembuangan limbah untuk smelter hidrometalurgi yaitu conventional tailing dam, deep sea tailing and dry stack tailing. Isu pembuangan limbah yang sampai batas tertentu masih menjadi perdebatan dan menghambat kemajuan smelter HPAL di Indonesia.
Indonesia menghasilkan 22 juta ton terak pada tahun 2020. Ampas bijih dan limbah HPAL menjadi perhatian yang signifikan bagi para pemangku kepentingan. Perusahaan yang mengejar kinerja ESG yang tinggi dianggap lebih menarik bagi investor, memiliki kinerja yang lebih baik dan indikator keuangan yang lebih baik.
Namun, menurut Romy, teknologi STAL menawarkan solusi net zero waste karena teknologi tersebut menghasilkan residu yang dapat diolah kembali dan dimanfaatkan untuk keperluan lain. “Daripada melakukan pengelolaan limbah, teknologi STAL justru dapat memanfaatkan residu menjadi produk sampingan yang memiliki kandungan ferrous 40 persen menjadi bijih besi untuk industri stainless steel,” ujarnya.
Produk utama STAL adalah MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) yaitu produk antara bijih nikel laterit dengan kandungan nikel 30-40 persen. Pengolahan STAL juga menghasilkan residu yang memiliki kandungan besi dan aluminium.
“Akhirnya tidak ada yang sia-sia karena tailing diolah kembali dan dimanfaatkan sepenuhnya,” kata Widodo.
HMI juga mengembangkan Program Green Plus, sertifikasi ESG untuk semua produk nikel HMI. Program ini akan memberikan pengguna akhir, khususnya produsen EV, sertifikat ESG untuk sumber pasokan nikel. “Jadi, semua produksi nikel MHI akan disertifikasi dengan Program Green Plus yang memastikan semua kegiatan value chain sesuai dengan kebijakan ESG,” kata Romy.
Lebih sedikit emisi karbon
Selain itu, teknologi STAL menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan metode pengolahan bijih nikel lainnya dan berpotensi jauh lebih rendah jika menggunakan sumber energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air atau tenaga surya.
Romy mengklaim teknologi STAL hanya mengeluarkan 17,3 kg CO2/kg Ni yang dihasilkan dari pembakaran dan konsumsi listrik. “Kami terus berusaha untuk mengurangi emisi,” katanya.
Selain itu, Trinitan Group memiliki anak perusahaan PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY), produsen panel surya, yang dapat mendukung pengembangan smelter STAL dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya, termasuk smelter STAL HMI di Kawasan Ekonomi Khusus Palu.
HMI mengedepankan transparansi pada semua proses teknologi STAL sebagai bagian dari tata kelola perusahaan yang baik (GCG) untuk memastikan semua pemangku kepentingan terkait penerapan LST.
Computer Integrated Manufacturing (CIM) akan diimplementasikan pada teknologi STAL untuk proses kritis lingkungan dan mengelola data dalam sistem cloud untuk memastikan data disajikan secara transparan, real-time dan valid. Namun demikian, Romy menegaskan bahwa HMI membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan terkait terutama pemerintah, lembaga penelitian dan pendidikan untuk mengimplementasikan CIM secara penuh.
“Sistem manufaktur cloud digital dapat memantau semua input material dan semua output residu di teknologi STAL,” kata Romy. (*)