Jakarta – Direktur Utama PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (TMM), Petrus Tjandra mengapresiasi positif rencana pemerintah untuk melakukan hilirisasi nikel. Untuk itu, Petrus mengingatkan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh pemangku kepentingan, guna mendukung cita-cita hilirisasi nikel. Hal pertama, soal kemampuan industri smelter lokal dalam melakukan pengolahan nikel hingga menghasilkan nikel murni. Kedua, soal limbah olahan dan komitmen pelaku industri dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Pertama, hilirisasi nikel perlu didukung oleh kemampuan smelter lokal untuk menghasilkan nikel murni. Sangat disayangkan jika sebagian besar smelter nikel hanya melakukan pengolahan sampai tahap MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) saja. Kalau begitu namanya hilirisasi tanggung dong,” ujar Petrus Tjandra.
Petrus berharap bahwa setiap pemangku kepentingan yang terkait dalam industri hilirisasi nikel, memiliki sudut pandang yang sama dalam melihat persoalan ini. Kemampuan smelter lokal untuk mengolah bijih nikel laterit sampai menjadi nikel murni, menurut Petrus, menjadi tantangan tersendiri bagi smelter lokal untuk benar-benar menghilirkan pengolahan nikel dalam beberapa tahun mendatang.
“Jika smelter lokal hanya melakukan pengolahan sampai tahap MHP saja, lalu siapa yang akan melakukan pengolahan selanjutnya, hingga menghasilkan nikel murni? Masa langsung diekspor ke luar negeri?,” kata Petrus.
Sebaliknya, menurut Petrus, TMM mampu dan sudah memiliki fasilitas berskala industri, untuk mengolah MHP menjadi nikel murni 99,96% dengan kapasitas produksi sekitar 1.200 ton per tahun, serta untuk mengolah MHP menjadi NCM precursor (bahan baku baterai lihitum) dengan kapasitas 5.000 ton per tahun. Walaupun demikian, lanjutnya, TMM terus berupaya melakukan penambahan kapasitas produksi melalui pembangunan smelter Hidrometalurgi STAL (Step Temperature Acid Leach) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu.
Selanjutnya, Petrus juga menekankan hal kedua yang perlu diperhatikan, yakni pentingnya komitmen industri untuk menjaga lingkungan dan memperhatikan persoalan limbah olahan. Menurut Petrus, salah satu metode proses pengolahan hidrometalurgi yang banyak digunakan saat ini justru menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing) yang kerap kali dibuang ke laut dalam.
“Kemampuan mengolah saja tidak cukup. Perhatikan teknologi pengolahannya seperti apa, pengelolaan limbahnya bagaimana, jangan sampai jadi ancaman untuk lingkungan perairan. Melakukan rehabilitasi lingkungan apa tidak? Program untuk mengkomodasi aspek lingkungan juga perlu dibuat, bila perlu dijadikan standar operation, karena hilirisasi nikel butuh tata kelola yang ramah terhadap lingkungan,” ungkap Petrus.
Soal limbah olahan, Petrus menegaskan bahwa teknologi STAL yang dikembangkan oleh TMM tidak menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing). Residu yang dihasilkan oleh STAL memiliki kandungan Besi (Fe) sekitar 80%, dan bahkan dapat diolah menjadi iron ore untuk digunakan oleh industri baja, maupun diolah menjadi bentuk batu bata (brick), yang dapat digunakan untuk membangun jalan maupun jembatan.
Selain itu, TMM melalui entitas anak perusahaannya, yaitu PT Hydrotech Metal Indonesia juga tengah menginisiasi program yang berfokus pada aspek environmental, social and governance (ESG), untuk mewujudkan praktik bisnis yang tidak mencederai lingkungan hidup. (*)